lukisan yang menggantung di dinding
“Nanti saja,” katamu setelah aku bertanya mengenai kanvas persegi di dinding yang sudah dihiasi cat entah minyak atau akrilik, tapi belum kering, belum selesai. Kamu malah melenggang meninggalkan nasi goreng yang belum habis setelah aku bertanya kapan kamu mau menyelesaikan lukisanmu. malam itu, aku menghabiskan makan malamku sendirian, lagi.
“Selamat pagi,” sapaku saat matahari menyinari rambut gelapmu ketika kakimu melangkah keluar dari kamar. Hanya hangatnya badanmu yang aku rasakan, tidak ada merdu suaramu yang aku dengar, kamu hanya diam dan berjalan menuju ruang makan setelah mendekapku dua detik. Pagi itu, aku berangkat ke kantor sendirian, lagi.
“Nanti saja.” Matamu memandangku tajam, menolak untuk melanjutkan lukisan di kanvas yang tergantung di dinding rumah kita. Sekali lagi, kamu melangkah meninggalkanku yang sedang makan malam. Percakapan selesai dengan suara sendok dan garpu yang berdenting bertemu dengan piring, dan suara pintu tertutup keras, lagi.
Tak ada kata yang keluar dari bibirku maupun bibirmu siang itu. Ada sebentang baris kalimat di kepalaku, semuanya memiliki tanda tanya yang terus mengetuk kepalaku, minta dilontarkan. Ingin kupecahkan saja kepalaku, dari pada harus bertanya kepadamu. Tak ada satu detik pun yang kamu luangkan untuk menatapku, setidaknya memastikan apakah aku masih ada di depanmu. Sepertinya, waktumu terlalu berharga dan tidak pantas kamu buang sedetik pun.
Nanti, nanti, dan nanti.
Begitu katamu.
Nanti.
Tidak sekarang.
Belum bisa sekarang.
Sibuk.
Tidak tahu.
Begitu katamu.
“Aku pergi saja ya,” ujarku ketika kamu menghampiri koperku yang sudah penuh dengan pakaianku, dan aku yang sedang merapikan tempat tidur. Lagi dan lagi, aku yang memulai percakapan di antara kita. Aku dan selalu aku.
“Jangan.”
Aku menoleh dan mendapati kamu berlutut menghadapku.
“Aku akan menyelesaikan lukisan itu, aku janji. Tapi aku mohon, jangan pergi.” Kamu memohonku untuk tetap dan terus menetap denganmu.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Jangan. Pergi bukan jawaban dari semua ini.”
“Lantas apa? Jawaban apa yang kamu inginkan dariku? Jawaban apa yang kamu ingin aku lontarkan saat ini juga, setelah kamu membelakangiku selama ini? Kamu tidak pernah menoleh ke arahku barang sekali pun, kamu tidak pernah menemaniku makan malam, kamu tidak pernah membuka percakapan, lantas apa yang kamu harapkan sebagai akibat dari perbuatanmu sendiri? Kesetiaan? Kesabaran? Itu buah roh, bukan jawaban!”
Lagi dan lagi, aku tetap jatuh ke dalam pelukanmu, tetap setia berdiri di belakangmu, memakan semua rasa sakitku sendirian, dan membuang semua tanda tanya di sebentang baris pertanyaanku.
Karena aku tahu, kamu enggan.
Kamu enggan melanjutkan memberi warna pada kanvas putih, namun kamu juga enggan menaruhnya di gudang, karena kamu menyukai bagaimana lukisan kita menggantung di dinding.